Jumat, 24 September 2010

Keping Cinta Mama

Untuk kesekian kalinya sepanjang tahun ini, saya kembali terbaring dikalahkan oleh asma. ‘Kawan’ yang sudah hampir tiga tahun melekat setia pada saya. Minum es sedikit, kena hujan, kecapekan, ataupun ada sedikit pikiran yang mengganjal, adalah menyebab awalnya. Apalagi saat ini, cuaca di Sengata seakan tak menentu. Sebentar hujan deras, beberapa saat kemudian panas terik. Seakan kompak mendukung penuh kehadiran ‘si asma’ untuk saya.

Berawal dari batuk kecil, tak lama kemudian akan terdengar bunyi derit di setiap helaan nafas. Jadilah dua hari kemarin, saya lewati dengan istirahat total tanpa aktivitas yang berarti, saya juga harus bolak-balik rumah sakit untuk neboulizer, demi kelancaran nafas. Sungguh bukan suasana yang saya harapkan. Sedikit zikir perlahan coba saya lantunkan di hati, Alhamdulillah, terasa ada kelapangan dan angin sejuk yang mengaliri hati. Subhanalloh. Beginilah rupanya keajaiban zikir, yang dengan mengingatNya, seketika membuat hati tenang dan nyaman.


Maka hadirlah sosok penuh cinta yang sangat saya rindukan di hati. Mama. Teringat beliau yang sejak saya kecil hingga menjelang dewasa, selalu setia mengantarkan saya berobat setiap sakit menghinggapi. Menyemangati saya hingga berani bertemu dengan makhluk berseragam putih yang bernama dokter. Tangan halusnya selalu sigap mengompres dan membelai rambut, demi membuat saya merasa lebih baik. Mama juga selalu siap dengan makanan terbaiknya, yang selalu dapat memancing selera makan, walau lidah terasa sangat pahit. Sup daging sapi buatannya adalah yang terlezat. Lengkap dengan sayuran segar yang warna-warninya kerap mampu menggelitik mata yang biasanya bila sakit, terasa lelah karena kurang tidur. Kerinduan akan kehadiran mama langsung menyeruak hati, seperti denting alu yang yang beradu dengan lesung. Ting! Ting! Ting! Begitu nyaring menggema di hati!

Ketika saya masih kecil, sering menghadiahi mama dengan berbagai peristiwa mengkhawatirkan. Beberapa kali terjatuh dari pohon rambutan, padahal sudah berulang kali mama peringatkan untuk tidak memanjat dan yang terparah adalah ketika saya jatuh dari sepeda, dan pulang dengan wajah berlumuran darah. Jangan bayangkan ada omelan yang keluar dari lisannya. Karena mama justru dengan senyum dan sabarnya mengantar ke dokter dan terus menguatkan saya. Begitulah mama yang saya kenal. Baginya, sakit yang di derita anaknya, sudah cukup menjadi pelajaran hingga tak perlu lagi baginya menambahkan dengan omelan yang tak jelas maksudnya. “ Bila anakmu sakit, jangan pernah engkau tambah sakitnya dengan omelanmu, karena hanya akan membuatnya semakin merasa sakit”. Begitulah pesan mama, yang terus saya ingat. Ternyata, dalam aplikasinya sekarang, sungguh bukan hal yang mudah. Rasa terkejut dan panik, kadang menguji benar kesabaran saya.

Waktu terus berputar menggerus umur. Tak perduli dengan tubuhnya yang sudah mulai ringkih termakan usia, mama selalu dapat menembus waktu dan ratusan kilometer jarak yang terbentang. Beliau terus berpedar demi melebur rindu dan cintanya sesuai keadaan maupun ‘permintaan’ anak dan cucu-cucunya.

Nafas panjang saya hempaskan. Masih terasa berat. Bayangan akan mama terus lekat dipelupuk mata. Kini mama sedang di Samarinda, sibuk membagi cintanya di keping yang lain. Sudah cukup lama beliau tinggal di rumah adik saya. Terbayang nyamannya adik saya karena ada mama di sisinya. Sedangkan saya? Segera saya tepis rasa cemburu yang sempat terbias di hati. Mama adalah yang paling mengerti anak-anaknya. Beliau tahu persis mana yang sedang membutuhkan. Adik saya memang sangat membutuhkan kehadiran mama dalam masa penyembuhannya setelah kecelakaan motor beberapa saat lalu. Bagaimanapun, pohon keluarga kami yang telah bercabang dan bertambah jumlahnya telah menyita hampir seluruh waktu mama. Kini, membuat cintanya terbagi menjadi banyak keping. Namun cinta mama tetap mengakar tak berkurang.

Saya masih tenggelam dalam bayangan mama. Merawat anaknya yang sedang sakit dengan kesabarannya, hanya satu dari ratusan episode cinta mama yang telah mengajarkan banyak hal untuk saya. Membuat saya tak perlu belajar dengan lain guru lagi. Bagi saya, walau kini cinta mama telah terbagi dalam kepingan, tidak mengurangi sedikitpun nilai yang melekat padanya. Keping-keping cinta yang berbau surga, yang mengingatkan saya untuk terus mengoptimalkan rasa bakti kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Comment

Recent Comment